Selasa, 8 November 2011 | 03.43 WIB
Jakarta, Kompas - Indonesia kekurangan pelatih angklung
yang berkualitas. Hal ini menghambat upaya pelestarian angklung. Di sisi lain,
pemerintah tidak punya cetak biru pengembangan angklung.
Pemerintah hanya puas setelah lembaga PBB untuk
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, UNESCO, memberikan pengakuan
terhadap angklung sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia. Namun, setelah
pengakuan itu, tidak ada tindak lanjutnya.
Di Bandung, yang dikenal sebagai pusat pengembangan
angklung, masih banyak sekolah yang mengantre untuk mendapatkan pelatih
angklung.
Adi Lukito, pelatih angklung di Bandung, mengatakan,
peminat angklung di sekolah sebenarnya cukup banyak. Hanya saja, sekolah
kesulitan mendapatkan pelatih yang berkualitas.
”Banyak sekolah yang sudah membeli alat musik
angklung, tetapi akhirnya tidak jalan karena mereka tidak punya pelatih,” kata
Adi yang mengajarkan angklung di SMA Pasundan 2 dan empat sekolahan lain, Senin
(7/11). Ia mengatakan, ada temannya yang sampai melatih 15 sekolah karena
banyak permintaan.
Obby AR Wiramihardja, Ketua Masyarakat Musik Angklung,
mengungkapkan, pelatih angklung yang berkualitas masih langka. Karena itu,
organisasinya lebih berfokus pada upaya mendidik pelatih angklung. Sementara
pemerintah sendiri tidak pernah ikut campur tangan dalam mendidik pelatih angklung.
Di sisi lain, peran perguruan tinggi jurusan seni
masih minim dalam mencetak guru angklung. Sekolah Tinggi Seni Indonesia dan
Universitas Pendidikan Indonesia, misalnya, meski sama- sama memiliki jurusan
seni, perguruan tinggi itu belum meluluskan guru angklung.
”Kebanyakan pelatih angklung adalah orang yang dulunya
pemain angklung. Belum ada pelatih atau guru angklung yang terjun karena
ketertarikan terhadap seni ini,” kata Adi.
Selain kekurangan pelatih, pemerintah juga tidak punya
strategi untuk membantu komunitas- komunitas angklung agar bisa hidup dari seni
musik ini. Beberapa sanggar mengeluhkan kurangnya bantuan pemerintah, terutama
ketika mereka hendak berpentas. ”Tidak banyak perusahaan swasta yang memberikan
bantuan dana untuk pengembangan angklung,” kata Eddy, pelatih angklung di
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Bandung.
Sanggar angklung Gumiwang SMA Pasundan 2 juga bersusah
payah mencari dana untuk pementasan angklung. Baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah kurang serius mengembangkan angklung. (IND)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar